Ngebut 100 Km/Jam dengan Gigi Satu, Konyol!
Oleh Edy Mulyadi*
KABARINDO - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan sampai kuartal 2, ekonomi tumbuh 5,01%. Angka ini lebih rendah ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yang 5,18%. Sampai akhir tahun ini, pemerintah berharap ekonomi tahun ini bisa tumbuh 5,2%. Tahun depan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) berharap bakal tumbuh 5,4%.
Konsumsi publik terbukti menjadi penyumbang pertumbuhan ekonomi yang utama. Sampai tahun ini saja, konsumsi berkontribusi hingga 58%. Untuk itu, duet Darmin-Ani seharusnya berusaha memompa konsumsi dengan cara memperbaiki daya beli masyarakat. Caranya, ganti kebijakan kuota impor dengan sistem tarif. Sistem kuota inilah yang telah melahirkan para begal komoditas pangan yang tergabung dalam berbagai kartel. Mereka dengan seenak perutnya melambungkan harga, sehingga rakyat harus membayar lebih mahal daripada semestinya.
Kesimpulannya,
ya sudah, lah. Cukup pakai gigi satu, dengan konsekwensi ekonomi tumbuh di
kisaran 5% saja. Mau coba-coba ngebut 100 km/jam dengan gigi satu, tidak
mungkin. Kalau dipaksakan, mesin pasti jebol. Konyol! [IG/KIN]
Jakarta, 13 September 2017
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
KABARINDO - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan sampai kuartal 2, ekonomi tumbuh 5,01%. Angka ini lebih rendah ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yang 5,18%. Sampai akhir tahun ini, pemerintah berharap ekonomi tahun ini bisa tumbuh 5,2%. Tahun depan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) berharap bakal tumbuh 5,4%.
Pertanyaannya, apa benar ekonomi
kita hanya berkutat di angka 5% dengan plus-minus nol koma sekian? Apa benar
ekonomi Indonesia sudah mentok? Mosok tidak bisa digenjot lebih tinggi lagi.
Misalnya, bertengger di 6% atau bahkan 6,5%?
Begitulah. Ciri tim ekonomi yang
dikomandani Menko Perekonomian Darmin Nasution memang seperti itu. Konservatif.
Watak ini dibuktikan dengan berbagai kebijakan ekonomi yang mereka lahirkan.
Semuanya serba konservatif. Sangat konservatif. Sama sekali tidak ada
terobosan.
Tidak aneh bila duet Darmin-Sri
merasa sudah mentok kalau ekonomi bisa tumbuh di kisaran 5% plus nol koma
sekian. Tidak ada greget untuk menggenjot agar terbang lebih tinggi. Alasannya
macam-macam. Mulai dari situasi global yang belum pulih, sampai berbagai
kendala di dalam negeri, termasuk tudingan Sri bahwa rakyat Indonesia maunya
gratisan.
Persneling satu
Ibarat berkendara mobil
bertransmisi manual, tim ekonomi kita memang hobi menggunakan persneling satu.
Celakanya, posisi itu berlangsung terus sepanjang perjalanan. Mulai berangkat
hingga sampai tujuan. Itulah sebabnya kecepatannya tidak bisa lebih dari 20
km/jam. Mungkin mereka pikir, kalau bisa lari 20 km/jam, kenapa harus ngebut di
atas 70 km/jam?
Pertanyaannya, apakah kita puas
dengan pertumbuhan yang berkisar di angka 5%? Dulu, saat SBY jadi Preisden,
ekonomi sempat nangkring di 6%, lho. Artinya, kalau tim ekonomi sekarang puas
dengan 5%, jelas kinerja tersebut bisa disebut belum ada apa-apanya.
Sejatinya, sampai 2019 Indonesia
bisa tumbuh lebih dari 5%, bahkan tembus 6,5%. Syaratnya, Pemerintah harus
berani menekan gas lebih dalam. Konsekwensinya, persneling pun harus dinaikkan
ke level dua, tiga, empat, bahkan lima. Kalau sudah begini, jangankan cuma lari
70 km/jam, mau 100 km/jam pun ayo saja.
Berharap ngebut sampai 70 km/jam
hanya dengan terus menggunakan gigi satu jelas tidak mungkin. Ilmuwan besar
abad 20 Albert Einstein mengatakan, berharap hasil beda tapi masih terus
memakai cara yang sama adalah konyol.
Sayangnya, kelakuan seperti inilah
yang menjadi rekam jejak Darmin-Ani dan gengnya. Sebagai penganut ekonomi
neolib, mereka terbiasa mengikuti kemauan dan aturan para majikan asingnya;
yaitu IMF, WB, dan ADB. Buktinya, mereka yang hanya mengandalkan APBN dan
inflasi belaka untuk urusan ekonomi makro. Inilah yang dimaksud tim ekonomi
tetap anteng-tentrem dengan terus menggunakan gigi satu.
Sebagai Menkeu, Ani, begitu dia
biasa disapa, sibuk mengutak-atik APBN. Dia menerapkan kebijakan austerity alias
pengetatan bujet. Caranya, gunting tajamnya melakukan serangkaian pemotongan
anggaran, termasuk belanja sosial pemerintah.
Akibatnya, berbagai harga
kebutuhan dasar melonjak. Gas LPG, listrik, dan BBM semua naik. Lonjakan
komoditas startegis itu segera diikuti meroketnya berbagai harga kebutuhan
pokok lainnya. Tentu saja, yang paling terpukul adalah rakyat miskin dan nyaris
miskin. Kelompok yang disebut kedua itu pun akhirnya tergelincir menjadi
miskin begitu BBM dan listrik 900 VA naik. Sedangkan yang sudah miskin,
kian dalam tenggelam tingkat kemiskinannya, sebagaimana dirilis BPS beberapa
waktu lalu.
Masuk gigi empat
Sebetulnya, ada sejumlah langkah
yang bisa ditempuh untuk mengerek pertumbuhan ekonomi agar terbang lebih tinggi
dari sekadar 5%. Pemerintah harus mengambil langkah counter cyclical
policies. Yaitu, kebijakan fiskal yang pada intinya meningkatkan
pengeluaran (ekspansi) dan memotong pajak selama resesi.
Negara-negara maju seperti
Amerika, Jepang, dan Cina biasanya memompa ekonominya dengan kebijakan fiskal
dan moneter. Amerika bahkan tidak segan-segan mencetak uang banyak-banyak
untuk mengakselrasi ekonomi domestiknya. Masih ingat kebijakan quantitative
easing/QE-nya Amerika? The Fed rajin belanja obligasi pemerintah,
menurunkan suku bunga, dan meningkatkan pasokan uang. Kabarnya, sejak 2008,
sekitar US$4 triliun digelontorkan ke pasar. Hasilnya, mantap. AS berhasil
keluar dari krisis pada 2009. Lalu secara bertahap Negeri Paman Sam itu mulai
menerapkan tapering policy karena ekonomi dianggap sudah mulai
pulih.
Selain itu, diperlukan sejumlah
kebijakan yang bersifat terobosan. Di antaranya, lakukan revaluasi aset secara
lebih massif. Tahun silam, revaluasi aset telah menggelembungkan aset BUMN
lebih dari Rp800 triliun. Pajak yang berhasil ditangguk pun mencapai Rp32
triliun. Jika dikombinasi dengan sekuritisasi asset, maka bukan mustahil kita
bakal meraup dana lagi sekitar US$10 miliar lagi.
Konsumsi publik terbukti menjadi penyumbang pertumbuhan ekonomi yang utama. Sampai tahun ini saja, konsumsi berkontribusi hingga 58%. Untuk itu, duet Darmin-Ani seharusnya berusaha memompa konsumsi dengan cara memperbaiki daya beli masyarakat. Caranya, ganti kebijakan kuota impor dengan sistem tarif. Sistem kuota inilah yang telah melahirkan para begal komoditas pangan yang tergabung dalam berbagai kartel. Mereka dengan seenak perutnya melambungkan harga, sehingga rakyat harus membayar lebih mahal daripada semestinya.
Dari sisi moneter, pemerintah
harus memacu kredit. Bank Indonesia (BI) melaporkan, sepanjang semester satu 2017,
kredit hanya tumbuh 7%. Ini jelas sangat tidak memadai. Harusnya Pemerintah
menggenjot rata-rata nasional minimal jadi 15%, baru ekonomi menggeliat dan
bergairah lagi. Tentu saja, perbankan nasional harus tetap prudent.
Mengobral kredit secara serampangan sama saja mengundang hantu non-performing
loan (NPL) yang amat mengerikan.
Sektor lain yang relatif cepat
dalam memacu pertumbuhan adalah pariwisata. Pada saat yang sama, ia mampu
menyerap tenaga kerja lebih banyak dan memberi dampak ganda (multiplier effect)
yang dahsyat. Ekonomi di sekitar kawasan wisata akan hidup, tumbuh, dan
berkembang.
Jika digarap dengan benar, target
mencapai 20 juta wisman dan devisa US$20 miliar sampai 2019 bukanlah
ilusi. Investasi di bidang pariwisata juga tidak padat modal. Inilah yang
Rizal Ramli lakukan saat menjadi Menko Maritim dan Sumber Daya. Dia fokus
mengembangkan 10 destinasi utama. Dengan cara ini, anggaran yang memang
terbatas bisa lebih efektif dan memberi dampak lebih besar ketimbang disebar ke
puluhan destinasi seperti selama ini.
Tidak harus berutang
Membangun infrastruktur juga tidak
harus melulu mengandalkan utang. Ada cara kreatif yang bisa ditempuh. Di
antaranya menggunakan sistem Build Operate Transfer (BOT) dan Build
Own Operate (BOO).
Buat banyak kalangan,
menggunungnya utang luar negeri sudah sampai tingkat mengkhawatirkan.
Guna mengatasinya, pemerintah tidak harus mengalokasikan anggaran supergede di
APBN untuk membayar cicilan, bunga, dan pokok utang. Pada 2017 saja, alokasi
untuk ini mencapai Rp486 triliun. Rp 221 triliun di antaranya hanya untuk
membayar bunga utang. Ini adalah porsi terbesar anggaran kita dalam APBN,
jauh mengalahkan anggaran pendidikan yang Rp416 triliun dan infrastruktur yang
'cuma' Rp387 triliun.
Betapa seriusnya Ani dalam menyenangkan
kreditor juga tampak dari alokasi Rp399,2 triliun untuk membayar pokok dan
cicilan utang pada APBN 2018. Jumlah itu di luar Rp247,6 triliun yang hanya
untuk membayar bunga utang. Total jenderal, untuk urusan utang ini Indonesia
harus merogoh kocek dalam-dalam hingga Rp646,8 triliun!
Sebenarnya ada cara lain untuk
mengatasi utang. Di antaranya, dengan mekanisme _debt to nature swap_.
Di Eropa dan negara-negara maju, keasadaran akan lingkungan hidup sudah bagus.
Indonesia bisa menegosisasi utang-utangnya untuk ditukar dengan pelestarian
hutan yang menjadi paru-paru dunia.
Atau, kalau berani, Pemerintah
bisa meniru Presiden Argentina Nestor Kirchner. Saat itu, utang negara hingga
US$178 miliar. Rasionya terhadap PDB mencapai 142%. Dia minta penjadwalan kembali
pembayaran utang dan bunga senilai US$84 miliar selama tiga tahun.
Sedangkan dana yang selama ini untuk membayar utang digeser ke dalam negeri.
Ditambah dengan berbagai kebijakan revolusioner di bidang hukum, perpajakan dan
ekonomi kerakyatan, Kirchner mampu menerbangkan ekonomi Argentina rata-rata 9%
dalam kurun 2003-2007.
Sayangnya, semua resep persneling
dua, tiga, empat, sampai lima itu nyaris dipastikan tidak bakal ditempuh tim
ekonomi Jokowi. Mereka penganut mazhab neolib sejati. Padahal, berbagai
resep tadi tidak ditemukan dalam ‘panduan’ berekonomi neolib. Orang-orang
ini sudah teramat lama terjebak pada school of thinking. Apa-apa
yang tidak diterima dari sekolahan (Barkeley dan para gengnya), pasti bakal
ditolak.
Jakarta, 13 September 2017
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
No comments
Silahkan berkomentar di kolom sini :