Klaim Jokowi Tidak Ada Konflik Dalam Pembangunan Infastruktur Terbantahkan
KABARINDOnews.id
(18/02/2019)- Kalim petahanan yang mengatakan tidak ada konflik dengan
masyarakat dalam pembangun infastruktur, justru berbanding kebalik dengan data
dilapangan. Berdasarkan catatan tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2017
maupun 2018, konflik akibat infrastruktur justru menempati posisi ketiga
ketimbang pembangunan dalam bidang sumber daya alam (SDA) lain.
Berikut datanya:
Sebanyak 208 konflik agraria telah terjadi di sektor ini
sepanjang 2017, atau 32 persen dari seluruh jumlah kejadian konflik. Sektor
properti menempati posisi kedua dengan 199 (30 persen) jumlah kejadian konflik.
Posisi ketiga ditempati sektor infrastruktur dengan 94
konflik (14 persen), disusul sektor pertanian dengan 78 (12 persen) kejadian
konflik.
Seterusnya sektor kehutanan dengan jumlah 30 (lima persen)
konflik, sektor pesisir dan kelautan sebanyak 28 (empat persen) konflik, dan
terakhir sektor pertambangan dengan jumlah 22 (tiga persen) kejadian konflik
yang terjadi sepanjang 2017.
Dengan begitu, selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK
(2015-2017), telah terjadi sebanyak 1.361 letusan konflik agraria. Sementara
itu, 2018, konflik lahan terkait infrastrukur dicatat sejumlah 16 kasus.
Proyek-proyek tersebut semuanya berujung pada sengketa lahan.
Contoh lainnya adalah pembangunan PLTU Teluk Sepang di
Bengkulu, dan pembangunan Geotermal di Gunung Talang terjadi konflik dengan
masyarakat. Bahkan, di Gunung Talang ada masyarakat yang dikriminalisasi dan
melibatkan TNI dalam pembersihan lahan.
Proyek Infrastruktur Jokowi Jadi Biang Konflik
Selama masa pemerintahan Jokowi-JK, setidaknya ada sepuluh
konflik lahan yang terjadi karena proyek infrastruktur.
Salah satunya, terjadi pada Kamis 17 November 2016, dimana
ratusan petani Desa Sukamulya, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat menggelar aksi
untuk menolak proses pengukuran lahan pertanian yang akan disulap menjadi
Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Warga mengaku tak ada kesepakatan
sebelumnya.
Selain menembaki petani dengan gas air mata, polisi juga
menangkap tujuh orang petani. Serangan polisi terhadap massa aksi itu
mengakibatkan tanaman di sekitar 70 hektare sawah dan dua saung milik petani
rusak.
Selama masa pemerintahan Jokowi-JK sebagaimana dihimpun Tim
Riset Tirto, ada juga lima proyek pembangunan dan perluasan bandara yang
diwarnai konflik lahan dengan warga. Selain yang di Desa Sukamulya, pembangunan
Bandara Internasional Kulonprogo di Yogyakarta juga berujung konflik dengan
petani.
Sebab lahan tempat bandara akan didirikan merupakan lahan
produktif para petani. Konflik antara petani dan pihak Angkasa Pura ini
berujung pada kriminalisasi petani dan tindakan kekerasan kepada warga.
Perluasan Bandara Sultan Hasanuddin di Makassar juga
diwarnai sengketa lahan. Hal ini terjadi penguasaan lahan secara sepihak oleh
bandara. Pun begitu dengan perluasan Bandara Labuhan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Konflik terjadi karena warga bermasalah dengan ganti rugi.
Pembangunan Bandara Dominique Edward Osok di Sorong, Papua
juga memicu konflik. Demi pembangunan bandara ini, masyarakat lokal harus
tergusur dari tanahnya.
Tak hanya bandara, pembangunan waduk dan pembangkit listrik
juga menjadi proyek yang menghasilkan konflik agraria. Di Sumedang, Jawa Barat
misalnya, pembangunan Waduk Jatigede menghilangkan hak-hak ekonomi dan sosial
warga karena adanya penggenangan. Di Purwakarta, Waduk Cirata juga memicu
konflik antara warga dengan Perum Perhutani.
Di Batang, Jawa Tengah, pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) membuat ratusan hektare sawah tergusur. Sementara di Daratei
Mataloko, NTT, pembangunan pembangit listrik tenaga panas bumi memberikan
dampak lingkungan yang buruk bagi warga di sekitaran proyek.
Diketahui, pembangunan infrastruktur yang kerap berujung
pertikaian itu tak semuanya dikerjakan pemerintah lewat perusahaan-perusahaan
pelat merah. Sebagian besar proyek menggandeng pihak swasta dengan investor
hingga ke negeri Cina.
Bandara di Majalengka contohnya, investor dari pembangunan
bandara itu adalah perusahaan asal Cina bernama China Fortune Land Development,
Co. Ltd. Ia adalah perusahaan pengembang berbasis di Beijing, yang fokus dalam
membangun kota-kota industri.
Dana untuk membangun Waduk Jatigede juga berasal dari
pinjaman Loan Bank Exim China. Total dana untuk membangun waduk ini senilai Rp4
triliun. Sebesar 90 persennya berasal dari Bank Exim, sedangkan sisanya dari
pemerintah.
No comments
Silahkan berkomentar di kolom sini :