Soal Freeport, Kamu Kerja untuk Siapa, Sri?
Oleh Edy Mulyadi*

KABARINDOnews - Tidak lama lagi Freeport
bakal menikmati fasilitas perpajakan yang menggiurkan. Freeport lag-lagi
mendapat keistimewaan. Draft beleid
berbentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang berisi keringanan pajak itu
sekarang sudah di Sekretariat Negara (Setneg).
Dalam bab VII Pasal 14 RPP
tersebut, disebutkan tarif PPh Freeport hanya 25%. Angka ini turun ketimbang PPh badan Freeport saat masih rezim Kontrak Karya (KK), yaitu 35%. Tapi, Freeport menanggung bagian pemerintah pusat sebesar 4% dari keuntungan
bersih pemegang IUPK dan bagian pemerintah daerah sebesar 6%.
Gerangan siapakah tokoh di
balik susutnya kewajiban perpajakan Freeport? Yup, benar. Orang itu adalah
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI).
“Tentang penerimaan negara,
RPP disusun Bu Sri Mulyani (Menkeu). Sedangkan menyangkut divestasi, baik waktu
dan nilai ditangani tim gabungan Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN,”
ujar Menteri ESDM Ignasius Jonan, Senin (2/10).
Sepintas, ujung-ujungnya
Freeport tetap membayar 35% sebagaimana sebelum menyandang status Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK). Bahkan, sebagai pendisain peraturan pemerintah (PP)
sebelumnya Sri mengatakan, nanti secara agregat ketentuan
pajak Freeport akan lebih besar dari yang sekarang diterapkan.
Benarkah demikian?
Ternyata tidak juga. Jika
ditelisik lebih dalam, jumlah yang akan dibayar justru menjadi lebih rendah.
Penjelasannya begini. Misalnya, laba operasi Freeport Rp 1.000.000 Sesuai ketentuan yang ada, Freeport harus membayar PPh
Rp 350.000. Jumlah ini dihitung dari laba perusahaan sebelum dikurangi bunga
utang dan pajak terutang alias EBITDA.
Di sisi lain, tambahan pajak
bagian pemerintah pusat dan pemda 10% dihitung dari laba bersih. Maka dengan
RPP baru tadi, Freeport membayar PPh Badan Rp 350.000 ditambah bagian
pemerintah pusat dan daerah Rp 75.000 (laba operasi PPh Badan). Jadi total yang
harus dibayar cuma Rp 325.000. Lebih rendah, kan?
Tunggu restu Freeport
Berkaca dari bocornya surat
bos Freeport McMoran yang menolak skema divestasi saham 51%, sepertinya
pemerintah tidak bermaksud buru-buru meluncurkan RPP tadi. Penundaan bukan
dimaksudkan untuk memperoleh masukan publik, terutama menyangkut substansinya, melainkan
justru guna meraih persetujuan Freeport. Untuk itu CEO Freeport McMoRan Inc. dijadwalkan bakal kembali
bertandang pekan ini atau pekan depan untuk melanjutkan perundingan.
Bagaimana seandainya draft RPP yang memberi bonus keringanan
pajak tadi tidak membuat Freeport happy?
Akankah Sri kembali tergopoh-gopoh memperbarui kontennya agar lebih sesuai dengan
keinganan si Amerika itu? Kalau, katakanlah, dia bermaksud keukeuh dengan draft yang
disusunnya, maka untuk apa pula kehadiran CEO Freeport McMoran Richard Adkerson
tetap dinanti?
Tapi, melihat rekam jejaknya
selama ini, besar kemungkinan Sri bakal kembali menyesuaikan materi RPP agar
bisa membuat Freeport senang. Tidak mustahil bila pemberlakuan RPP tersebut
tetap akan menunggu restu Freeport.
Langkah minimal yang biasa
ditunjukkannya adalah cenderung berdamai dan menghindari konforntasi dengan
asing. Coba, tunjukkan bagaimana sikapnya atas surat Adkerson kepada Kementerian
Keuangan yang berisi penolakan divestasi saham 51%. Adakah Sri mencak-mencak karena
merasa terhina sebagaimana seharusnya? Ga
juga, kan? Padahal, surat itu
jelas-jelas menunjukkan arogansi luar biasa dari orang asing yang mencari
rejeki dari perut Bumi Pertiwi.
Menabrak Konstitusi
Apa yang dilakukan Sri
sejatinya bertentangan dengan berbagai peraturan di atasnya. Tidak
tanggung-tanggung, RPP tadi menabrak konstitusi, khususnya pasal 23 A. Pasal
tersebut berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”.
Konstitusi mewajibkan pajak
dan pungutan yang memaksa diatur dalam Undang-Undang. Dalam konteks
pertambangan mineral dan batubara (Minerba), ketentuannya ada di UU No. 04/2009
tentang Mineral dan Batubara (Minerba).
Dengan keharusan pajak diatur dengan UU, Konstitusi kita hendak
memastikan pemungutan pajak juga dikendalikan dan diawasi oleh rakyat melalui
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah ketentuan perpajakan lahir dalam bentuk
UU, maka tidak boleh ada lagi pungutan yang bersifat memaksa dalam lingkup
nasional, apalagi jika didasarkan pada peraturan yang secara hirarki lebih
rendah daripada UU.
Keringanan perpajakan bagi
Freeport juga melanggar UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Tapi begitulah Sri, kalau untuk menyenangkan asing, seolah apa saja
bisa dilakukan, termasuk melanggar konsititusi dan UU. Bukan main!
Bandingkan dengan yang
dilakukan Sri terhadap rakyatnya sendiri. Masih ingat, bagaimana dia melahirkan
sejumlah kebijakan untuk menggenjot penerimaan pajak? Kalau kepada rakyatnya sendiri,
Sri begitu galak memalak berbagai pajak.
Sebut saja rencana pengenaan
PPN untuk gula tebu rakyat. Dia juga pernah bermaksud menurunkan pendapatan
tidak kena pajak (PTKP) dari Rp4 juta menjadi sesuai upah minimum provinsi
(UMP). Menteri yang sangat neolib itu juga pernah berencana menggandeng polisi
untuk mendatangi rumah-rumah penduduk yang pajak kendaraannya belum dibayar. Yang terbilang paling anyar, dia mewajibkan
semua mahasiswa memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Dalam soal pajak, Sri memang
dikenal hobi mengurusi hal-hal serba printal-printil
alias yang remeh-temeh. Dia sibuk menelisik apa saja dan apa lagi yang bisa
dipalak dari rakyat kecil. Dia nyaris tidak pernah menyentuh para wajib pajak
kakap. Kita tidak mendengar, misalnya, apa yang dilakukannya terhadap sejumlah
taipan yang terbukti tidak punya NPWP.
Begitulah watak menteri
neolib. Kepada rakyatnya sendiri bersikap galak bukan alang kepalang. Tapi saat
berhadapan dengan kepentingan para raksasa atau majikan asingnya, dia tunduk lunglai.
Bukan cuma itu, si menteri justru dengan semangat dan ikhlas membuat celah
peraturan yang memungkinkan si bos menikmati berbagai fasilitas. Contohnya, ya
keringanan pajak untuk Freeport itu.
So,
apa yang kini tengah Sri lakukan untuk Freeport sekali lagi menunjukkan siapa
dia sesungguhnya. Untuk kesekian kalinya, wajar jika publik bertanya,
sebenarnya kamu bekerja untuk siapa, Sri? [IG/KIN]
Jakarta, 3
Oktober 2017
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre
for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
No comments
Silahkan berkomentar di kolom sini :