Rizal Ramli : Jangan sebut saya aktivis. Saya orang pergerakan !
KABARINDOnews - ,
“Jangan sebut saya aktivis. Saya orang
pergerakan,” ujar ekonom senior Rizal Ramli, dalam obrolan santai, pekan silam,
di rumahnya di bilangan Bangka, Jakarta Selatan.
Senyum dan candanya yang sejak tadi bertaburan,
tiba-tiba saja lenyap ditelan mimik serius. Wajahnya sedikit mengeras saat
mengucapkan dua kalimat pendek tadi. Sepertinya, buat tokoh yang sejak
mahasiswa sudah ‘badung’ ini, antara aktivis dan pergerakan adalah perkara
serius. Keduanya punya perbedaan yang amat prinsipil.
Mengenakan kemeja biru dan celana
panjang gelap, Rizal Ramli siang itu menerima pengurus Forum Jurnalis Muslim
(Forjim) yang baru saja selesai menyelenggarakan Munas. Banyak hal yang Kepala
Bulog periode 2000-2001 itu singgung terkait kondisi negeri. Dia bicara soal
impor beras, impor garam, tentang demokrasi yang disebutnya sudah menjadi
demokrasi kriminal, tentang Parpol, dan tentu saja, tentang peta
politik-ekonomi mutakhir. Senyum dan tawa lepas berkali-kali meningkahi tanya-jawab.
Nah, ketika obrolan masuk ke soal
aktivis dan pergerakan inilah, dia menjadi serius. Meja makan dari kayu besar
tempat kami duduk tiba-tiba terasa jadi ‘lebih keras’. Untungnya angin siang
yang sejuk mengalir deras melalui jendela-jendela kaca besar yang terbuka
lebar. Dari langit-langit, baling-baling yang berputar perlahan pun ikut
menyumbang dalam 'mendinginkan' suasana.
Kami, saya dan beberapa jurnalis muda
yang penuh semangat, menyimak baik-baik ‘wejangan’ yang dia sampaikan. Maklum,
yang sedang berbicara memang punya otoritas untuk itu. Dia bukan sekadar
memaparkan teori-teori belaka atau pengalaman orang lain. Jejak hidupnya sarat dengan
‘perlawanan’ terhadap kesewenangan. Sebagai mahasiswa Institut Teknologi
Bandung (ITB), misalnya, pada 1978 dia bersama Irzadi Mirwan, Adulrochim, dan
Yosef Manurung menulis Buku Putih Perjuangan Mahasiwa ITB yang berisi kritik
atas kebijakan ekonomi, praktik KKN dan otoriterianisme Orde Baru.
Dia juga menggalang kawan-kawannya menolak
niat Soeharto yang bermaksud kembali menjadi
Presiden pada periode berikutnya. Hasilnya, kampus ITB diduduki tentara selama
lebih dari tiga bulan. Dia sendiri diganjar 1,5 tahun di penjara Sukamiskin,
Bandung. Di tempat yang sama itu pula, pada tahun 30an Soekarno mendekam karena
menentang Belanda.
Setahun sebelumnya, bersama mahasiswa
ITB lainnya, RR, begitu dia disapa, menggalang gerakan anti kebodohan (GAK).
Gerakan yang dipicu fakta ada 8 juta anak tidak bersekolah itu akhirnya menjadi
cikal-bakal lahirnya UU Wajib Belajar enam tahun beberapa tahun kemudian.
“Banyak orang yang modalnya cuma 2-3
kali ikut demo terus merasa menjadi aktivis. Mereka tidak membaca, tidak melakukan
refleksi, tidak membuat analisis dan sintesa-antitesa. Tapi begitu dapat kursi,
walau cuma komisaris BUMN atau staf khusus, langsung berubah menjadi penjilat
nomor satu,” papar Rizal Ramli, masih dengan wajah serius.
Menurut pria yang pada 1994 bersama
Adnan Buyung Nasution memimpin demo besar melawan pembreidelan majalah Tempo, Detik, dan Editor ini, orang
pergerakan tetap konsisten dengan nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkan.
Orang pergerakan sikapnya tidak berubah, baik ketika di luar maupun masuk
lingkaran kekuasaan.
“Saat di dalam kekuasaan, kalau berani
kamu lawan. Kalau tidak berani karena takut kehilangan jabatan, sebaiknya kamu
diam. Jangan malah ikut-ikutan menjadi penjilat atau pembela
kesewenang-wenangan. Ini bukan sikap dan sifat orang pergerakan. Sayangnya,
mereka yang mengaku aktivis justru banyak yang seperti itu,” ungkap Menko
Perekonomian era Presiden Gus Dur ini.
Buat orang pergerakan, lanjut lelaki
yang pernah jadi anggota tim Panel Ahli Ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa ini,
jabatan dan kekuasaan adalah alat untuk memassifkan dan mengefektifkan perjuangan.
Mereka berani berbeda dengan arus besar penyimpangan. Bahkan ketika harus
memilih, orang pergerakan lebih suka menanggalkan jabatan dan kekuasaannya
ketimbang harus bertabrakan dengan nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkannya.
“Kalau sudah tidak cocok, orang
pergerakan memilih mundur dari jabatannya. Itulah yang dilakukan Hatta saat
mundur sebagai Wapres. Jadi, Soekarno, Sjahrir, Natsir, Hamka, dan banyak
pejuang kita adalah para tokoh pergerakan. Mereka bukan aktivis. Catat itu,”
katanya.
Mundur atau dimundurkan adalah
konsekwensi dari sikap komit dan konsisten pada nilai-nilai kebenaran. Itulah
sebabnya RR harus terpental dari jabatannya sebagai Menko Maritim dan Sumber
Daya karena menentang reklamasi Teluk Jakarta. Hasil kajian tim lintas sektoral
yang dibentuknya menunjukkan reklamasi menyebabkan kerusakan lingkungan,
membahayakan proyek-proyek vital (PLTU, kabel bawah laut, jaringan pipa bawah
laut), serta mencerabut hidup dan penghidupan nelayan.
[Edy Mulyadi/Andi Abdad/KIN]
No comments
Silahkan berkomentar di kolom sini :