Obral Tax Holiday, Sri Memang Manis
Oleh
Edy Mulyadi*
KABARINDOnews-, Pemerintah berencana menerbitkan aturan
baru tentang libur pajak (tax holiday)
bagi investor yang mau membenamkan duitnya di sini. Tidak tanggung-tanggung,
beleid yang rencananya berbentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan bakal
terbit pecan depan itu, kelak bakal mengganjar investor dengan tax holiday hingga 20 tahun. Bukan main!
Guna memperoleh libur pajak tadi,
pengusaha harus bersedia menanamkan investasinya di sektor hulu mulai Rp500
miliar hingga di atas Rp30 triliun. Besaran hadiah tax holiday berlaku progresif, sesuai dengan besarnya fulus yang
ditanam.
Investasi sebesar Rp500 miliar
hingga Rp1 triliun bakal memperoleh tax holiday selama lima tahun. Kalau
investasinya naik jadi Rp1 triliun hingga Rp15 triliun, bisa dapat tujuh tahun.
Libur pajak 10 tahun bakal dinikmati investor yang menanamkan duit Rp5 triliun
sampai Rp15 triliun. Berikutnya, investasi Rp15 tirliunj sampai Rp30 triliun
berhak dapat libur pajak 15 tahun.
Puncaknya, kalau berinvestasi Rp30
triliun ke atas, maka sampeyan berhak dapat tax
holiday 20 tahun. Setelah jangka waktu berakhir, para pengusaha kakap ini
masih memperoleh waktu dua tahun masa transisi dengan pengurangan PPh sebesar
50%. Pada tahun ketiga, baru membayar pajak normal sesuai aturan yang ada.
Saya mencoba memahami alur piker Menkeu
Sri Mulyani Indrawati (SMI) yang bermaksud mengobral tax holiday. Semangatnya, ingin menarik investasi sebanyak-banyaknya.
Tentu saja, dalam konteks menambal APBN yang terus-terusan bolong, ini niat
yang bagus. Tentang potensi negara bakal kehilangan pendapatan dari pajak
penghasilan (PPh) badan, Sri dan jajarannya pasti sudah menghitung untung
ruginya.
Data Kemenkeu menyebutkan, realisasi
penerimaan perpajakan sepanjang 2017 hanya Rp1.339,8 triliun alias 91,0% dari
target APBN Perubahan (APBN-P) 2017 yang Rp1.450,9 triliun. Kendati, seperti
biasa, di bawah target perolehan yang 91% ini termasuk bagus. Pada 2016,
misalnya, Sri dan jajarannya hanya bisa menyetor 83,5% dari target. Tahun 2015,
perolehannya lebih jeblok lagi, yaitu 83,3%.
Dari penerimaan yang Rp1.339,8 triliun itu, kontribusi penerimaan PPh Migas tercatat Rp50,3 triliun atau 120,4% dari target Rp 41,8 triliun. Sebaliknya, PPh nonmigas justru turun turun 5,27% karena basis penerimaan tahun 2016 lebih tinggi yang diperoleh dari tax amnesty.
Dari penerimaan yang Rp1.339,8 triliun itu, kontribusi penerimaan PPh Migas tercatat Rp50,3 triliun atau 120,4% dari target Rp 41,8 triliun. Sebaliknya, PPh nonmigas justru turun turun 5,27% karena basis penerimaan tahun 2016 lebih tinggi yang diperoleh dari tax amnesty.
Sangat
terbatas
Yang jadi persoalan adalah, tax holiday ini pasti hanya bisa
dinikmati pengusaha besar. Siapa pula yang sanggup menanam Rp500 miliar hingga
Rp30 trilliun lebih kalau bukan pengusaha kelas paus. Jangankan usaha mikro
kecil dan menengah (UMKM), level pengusaha besar saja pasti hanya beberapa di
antara mereka yang sanggup. Dengan demikian pengusaha yang bakal menikmati
fasilitas perpajakan ini kelak jumlahnya sangat terbatas.
Artinya, lagi-lagi Sri bersikap amat
manis kepada pengusaha besar. Untuk mereka, perempuan yang moncer karena
kolaborasi antara asing dan polesan media mainstream
ini, tidak segan-segan menggelar karpet merah. Berbagai kemudahan dia sodorkan.
Secara normatif, sikap manis ini dimaksudkan untuk menarik investasi
sebesar-besarnya. Tapi, kalau tax holiday
sampai 20 tahun, berapa sisa-sisa perpajakan yang bisa dikais pemerintah?
Sekadar mengingatkan dan menolak lupa,
sikap Sri justru berbanding terbalik jika berhadapan dengan UMKM dan rakyat
biasa. Kita tentu belum lupa bagaimana dia berusaha membidik simpanan rakyat
dengan saldo Rp200 juta. Juga ketika dia tanpa babibu tiba-tiba bermaksud mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN)
10% bagi gula tebu petani.
Dengan dalih meningkatkan penerimaan
negara bukan pajak (PNBP), Sri juga berniat menjaring pendapatan dari berbagai
layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Sebelumnya, dia bernafsu
menurunkan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp4,5 juta menjadi
disesuaikan dengan upah minimum provinsi (UMP).
Khusus menurunkan PTKP, bisakah
Sri membayangkan bagaimana dampaknya terhadap rakyat? Tolong ajari para buruh
di Jateng yang menerima UMP Rp1.367.000 atau di Jatim UMPnya Rp1.388.000/bulan
mengatur uang untuk hidup sebulan. Tolong ajari mereka bertahan hidup dengan
upah yang begitu kecil plus harus dipotong pajak pula.
Daya beli rakyat dipastikan
bakal makin terpukul. Sudah begitu, rakyat yang pendapatannya rendah jadi terjangkau
pajak. Sudah jatuh tertimpa tangga, dilindas bajaj pula. Padahal, dengan
pendapatan yang relatif baik, daya beli pun meningkat sehingga memacu
perekonomian. Jangan lupa, 57% ekonomi Indonesia digerakkan konsumsi
masyarakat.
Makin miskin
Daya beli rakyat turun
adalah kata lain dari menjadi miskin. Sangat mengherankan kebijakan Menkeu yang
justru akan memiskinkan rakyatnya. Menurunkan PTKP memang bakal menaikkan tax
ratio dan mendongkrak penerimaan pajak. Namun apa artinya semua itu
kalau harus ditebus dengan kian miskinnya rakyat? Jika ini terjadi, lantas apa
bedanya dengan penjajah Kompeni saat menjajah kita?
Masih ada contoh teranyar betapa
bengisnya watak Sri terhadap rakyat kecil. Ketika Presiden Joko Widodo bermaksud menurunkan tarif pajak
penghasilan (PPh) final untuk Usaha Kecil Menengah (UKM) turun menjadi 0,25
yang sebelumnya 1%. Tapi, Sri yang pejuang neolib itu gigih ngotot, PPh final
UKM cuma bisa diturunkan maksimal jadi 0,5%. Bukan main, Menkeu berani
berseberangan bahkan menentang Presiden!
Lewat jabatan Menteri Keuangan yang
diganggamnya, Sri memang selalu menyediakan karpet merah kepada pengusaha besar
dan para majikan asingnya. Berbagai kemudahan perpajakan diberikan dan
berkali-kali menerbitkan obligasi berbunga supertinggi. Sebaliknya, kepada
rakyat kecil dia begitu bengis. Hal itu ditunjukkan dengan memangkas aneka
belanja sosial di APBN dan membebani rakyat dengan aneka pajak dan pungutan.
Apa kabar Nawacita dan Trisakti…?
[IG/KIN]
No comments
Silahkan berkomentar di kolom sini :