Presiden Jokowi Neolib?
KABARINDOnews-, Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan pada judul
artikel ini. Kesulitan antara lain disebabkan mantan Walikota Solo tersebut
berjualan Trisakti dan Nawacita saat kampanye Pilpres 2014 silam. Padahal siapa
pun tahu, bahwa Trisakti bertentangan secara diametral dengan paham neolib atau
neoliberalisme. Pun demikian dengan Nawacita, yang dianggap sebagai breakdown dari
Trisakti, tentu bertabrakan dengan neolib.
Trisakti adalah ajaran Bung Karno yang berisi tiga pondasi
penting. Yaitu, berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan
berkepribadian di bidang kebudayaan. Sedangkan Nawacita adalah visi-misi yang
digunakan pasangan Capres/Cawapres Joko Widodo/Jusuf Kalla. Dalam Nawacita ada
sembilan agenda pokok untuk melanjutkan serta mewujudkan semangat perjuangan
dan cita-cita Soekarno dalam Trisakti.
Kini, setelah menjadi Presiden tiga tahun lebih, kita
jadi bertanya, benarkah Jokowi telah merealisasikan janji-janji kampanyenya?
Sudahkah dia menjadikan Trisakti dan Nawacita sebagai pedoman dalam
mengendalikan perahu besar bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?
Pada konteks ini, bagaimana kita membaca tantangan
Jokowi kepada para ekonom atau pihak lain yang selama ini mengkritisi utang
Indonesia untuk adu argumen dan data melawan Menteri Keuangan Sri Mulyani?
Tantangan ini menjadi menarik, karena disampaikan oleh seorang Presiden yang
selalu dicitrakan sederhana dan merakyat.
Saya tidak ingin membahas tantangan yang segera
disambut ekonom senior Rizal Ramli, yang biasa disapa RR. Juga saya tidak
berminat menduga-duga soal berani-tidaknya Sri menjawab tantangan debat mantan
Menko Ekuin dan Menkeu era Abdurrahman Wahid yang terkenal dengan jurus
Rajawali Kepretnya itu. Sebab saya, dan juga mungkin anda, rasanya hampir
yakin, bahwa Sri tidak akan punya nyali meladeni tantangan tersebut. Dia dan
atau para punggawanya bisa saja menyodorkan seabreg dalih untuk sembunyi di
balik ketidakberanian tersebut.
Membaca posisi Jokowi
Di sini saya hanya ingin membaca bagaimana kita
memaknai tantangan debat soal utang tersebut? Buat saya, tidak bisa tidak,
tantangan itu menunjukkan di mana ‘posisi’ Jokowi sebenarnya. Tantangan tadi
berkata, bahwa sang Presiden 100% mengamini kebijakan Menkeunya dalam perkara
utang. Bukan itu saja, tantangan itu secara gamblang juga menjelaskan, bahwa
Jokowi sangat percaya dan bangga dengan Sri Mulyani!
Pertanyaannya, bagaimana mungkin seorang yang mengaku
menggenggam Trisakti erat-erat bisa tidur nyenyak ketika negaranya masuk dalam
jebakan utang menggunung dengan bunga supertinggi? Bagaimana mungkin seorang
yang mengaku berpihak pada rakyat, bisa terus-terusan menampilkan wajah innocent saat
nyaris sepertiga APBN habis hanya untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang?
Ya, sepertiga anggaran di APBN! Sungguh suatu jumlah
tidak sedikit, yang bahkan jauh melampaui anggaran pendidikan dan
insfrastruktur yang amat dibangga-bangakan! Yang karena alokasi anggaran bayar
utang superjumbo itu, belanja sosial harus dipangkas sampai taraf minimal.
Akibatnya harga-harga barang publik pun terus melambung, mencekik leher rakyat
yang, konon, dicintainya.
Kondisi ini pula yang menjelaskan mengapa dalam tiga
setengah tahun kekuasaanya, begitu banyak kebijakan ekonomi yang bertabrakan
dengan Trisakti dan Nawacita bisa melenggang mulus. Praktik impor komoditas
pangan yang bertubi-tubi, terlebih lagi di saat panen raya, jelas menyeruakkan
aroma neolib yang amat menyengat.
Begitu juga dengan Privatisasi BUMN yang serampangan,
syahwat menjaring utang yang ugal-ugalan, memperpanjang kontrak Freeport yang
sangat arogan dan berkali-kali melanggar UU, membuka pintu lebar-lebar bagi
investasi dan tenaga kerja asing dengan segala kenikmatan luar biasa bagi
mereka, dan lainnya. Semua itu jelas-jelas beraroma neolib yang amat kental.
Atas semua kebijakan ekonomi sarat nilai-nilai neolib
itu, Jokowi terlihat anteng dan adem-ayem saja. Padahal, tanpa harus menjadi
profesor atau doktor ekonomi, siapa saja seharusnya menyadari bahwa semua
kebijakan itu sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia. Rakyat yang paling
menderita, karena merasakan langsung betapa pahitnya dampak berbagai kebijakan
ekonomi yang diambil para menteri neolib tadi.
Presiden tak bersalah?
Namun di tengah makin babak-belurnya kondisi mayoritas
rakyat Indonesia, masih ada saja suara-suara yang mencoba membela junjungannya.
Mereka antara lain mengatakan, Presiden tidak salah. Yang salah ya
menteri-menterinya. Menteri Perdagangan harusnya jualan atau dagang, bukan
malah asyik impor-impor. Menteri Keuangan harusnya kejar pajak pengusaha sukses
dan perusahaan-perusahaan besar, bukannya mengulik duit pensiunan atau UMKM.
Menko Perkenomian seharusnya mengkoordinasi menteri-menteri di bawahnya agar
menerbitkan kebijakan yang sinkron dan saling menguatkan. Bukannya malah
mengeluarkan paket kebijakan ekonomi berjilid-jilid yang tidak jelas
implementasi dan hasilnya.
Para pemuja Jokowi juga berkata, karena orientasi
menteri-menteri ekonomi yang berkiblat pada paham neolib, akibatnya ekonomi
stagnan di angka 5%. Padahal, kata mereka lagi, kalau cuma tumbuh 5%, tidak
perlu mikir dan kerja. Cukup tidur seharian atau duduk ongkang-ongkang kaki
ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5%. Jadi, Presiden tidak salah. Yang salah ya
para menteri itulah.
Saya setuju, bahwa para menteri itu jelas salah.
Mereka terlalu text book thinking. Mereka hanya mau berkiblat dan
patuh pada mazhab neolib ala Bank Dunia dan IMF. Segala sesuatu yang berbeda
dengan paham tersebut, pasti ditolak mentah-mentah. Yes, mereka
memang bersalah!
Tapi, hal itu bukan berarti Jokowi jadi bebas dari
kesalahan. Justru kesalahan utama ada pada Presiden. Pertama, sebagai Presiden
kenapa dia memilih dan mempertahankan menteri-menteri neolib? Padahal, berbagai
kebijakan yang mereka keluarkan jelas-jelas bertabrakan dengan Trisakti dan
Nawacita yang dikampanyekan waktu Pilpres 2014.
Kedua, sebagai Presiden kenapa dia tetap dan terus
saja menolak masukan dari para ekonom bermazhab konstitusi? Ok,
mungkin sebagai orang Jawa Jokowi tidak mau atau tersinggung kalau diberi masukan
dan saran disampaikan secara terbuka lewat media massa. Itulah sebabnya,
barangkali, dia beriskap cuek dan abai terhadap segala masukan tadi.
Tapi, bukankah dia juga sering bertemu empat mata dan
berdikusi dengan beberapa sahabatnya yang menganut paham ekonomi konstitusi?
Rizal Ramli, misalnya, adalah salah satu sahabat yang kerap memberi masukan dan
saran-saran saat ngobrol empat mata. Tapi, kenapa Jokowi hanya
iya-iya saat diskusi, tapi kembali asyik dengan berbagai kebijakan neolib para
menterinya setelah RR pergi?
Para menteri itu jelas salah. Tentu saja. Tapi
Presiden (dan para pendukungnya) juga jangan coba-coba ngeles dengan
menyalahkan para pembantunya. Walau bagaimana juga, Jokowi adalah Presiden.
Sesuai mandat konstitusi, Presiden adalah pemimpin eksekutif tertinggi.
Presiden yang pegang kendali. Bahkan, dengan kontitusi pula Presiden punya hak
prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan para menterinya, siapa saja dan
kapan saja! Kalau mau, dia bisa mencopot para menteri neolib dan mengembalikan
garis kebijakan ekonominya sesuai dengan Trisakti dan Nawacita. Sayangnya,
hal itu tidak pernah dia lakukan.
Jadi, menurut anda, apakah Jokowi neolib?
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy
Studies (CEDeS)
No comments
Silahkan berkomentar di kolom sini :